Setiap tahun
jumlah penduduk Indonesia semakin bertambah. Membeludaknya jumlah penduduk
membawa dampak positif dan negatif. Dampak positif meliputi tersedianya potensi
sumber daya manusia yang besar. Untuk mengelola sumber daya alam yang ada.
Sementara dampak negatif berupa kekurangan fasilitas untuk menyokong kehidupan
semua penduduk.
Bukan hal rahasia, masih banyak wilayah di Indonesia kekurangam
fasilitas kehidupan sebagai barometer kesejahteraan. Problem klasik
ketersediaan fasilitas kehidupan memusat pada kota-kota besar. Dalam skala
wilayah kelengkapan fasilitas memusat di Pulau Jawa sementara kekurangan di
Pulau Papua dan pulau-pulau terluar.
Selama ini
program penyelesaian pemerintah kepadatan penduduk dengan menggalakan program migrasi
penduduk berupa migrasi nasional dan internasional. Dalam hal ini penulis lebih
menyoroti pada migrasi nasional urbanisasi. Urbanisasi sendiri merupakan
perpindahan penduduk dari desa ke kota. Macam-macam migrasi nasional meliputi
urbanisasi, transmigrasi, bedol desa dll.
Pada
pembahasan urbanisasi permasalahannya terletak pada kualitas dan kesehahteraan
penduduk. Penilaian pada pra dan pasca urbanisasi. Bila kita amati kebanyakan
faktor pendorong urbanisasi adalah harapan kehidupan yang lebih baik di kota
tujuan.
Namun
faktanya pelaku urbanisasi kerap kali gagal di kota. Faktor penyebabnya
bermacam-macam. Tapi yang lebih rasional faktor ini tidak terlepas dari
pemerintah dan kementrian terkait. Banyak
diantara pelaku urbanisasi justru menjadi gelandangan di kota. Seperti kabar
dari media tentang menjamurnya pemukiman kumuh di Jakarta. Tingginya jumlah
gelandangan dan pengemis.
Sementara
dampak bagi desa yang ditinggalkan, desa kekurangan tenaga kreatif pasalnya
pelaku urbanisasi mayoritas kalangan remaja hingga dewasa. Usia mereka 15-45
tahun. Mereka ke kota dengan tujuan pendidikan dan pekerjaan.
Bila
diperlebar permasalahan di desa lebih komplek. Alurnya minimnya tenags kreatif
di desa memperlambat kemajuan desa. Selama ini kita mengenal desa sebagai
lumbung produksi. Dimana tersedia sumber bahan pokok seperti padi, tebu,
gandum, dan produksi pertanian, perkebunan serta perikanan. Sementara kota
sebagai daerah distribusi sekaligus konsumsi.
Lantas dari
hilangnya tenaga kreatif desa, berdampak pada menurunnya produksi di desa.
Contoh : Keluhan beberapa petani tradisional. Mereka kekurangan tenaga
penggarap sawah, karena para pemuda memilih kerja di kota dengan asumsi
mendapat gaji lebih besar. Padahal seperti yang kita tahu, gaji besar di kota
berbanding lurus dengan besarnya biaya hidup di kota. Kalau dihitung-hitung
keuntungan kerja di kota sedikit. Lebih parah lagi, para pelaku urbanisasi
mayoritas berpendidikan rendah. Mendapat pekerjaan rendah dengan gaji sebatas
Upah Minimum Regional. Penulis tidak menyama ratakan tetapi dari pengamatan
penulis tingkat pencapaian pelaku urbanisasi di kota besar masih jauh dari
sukses.
Lalu, jika ditarik
kesimpulan sederhana program urbanisasi belum sepenuhnya menjadi alternatif
krisis kesejahteraan penduduk. Mengenai hal ini penulis menawarkan solusi para
pemuda baik yang sekolah maupun berpendidikan rendah tetap di desa. Mereka
memberdayakan potensi di desa. Mengoptimalkan kuantitas dan kualitas produksi
di desa. Aplikasi sederhana dengan kerjasama solid dan kesinambungan program
pemberdayaan.
Kerjasama
solid dengan menggandeng elemen terkait dari pusat ke daerah. Misal: program
pengadaan pupuk organik bagi petani. Peran pemda atau dinas terkait sebagai
fasilitator dan pengawasan. Peran akademisi/ yang diwakili perguruan tinggi
sebagai pendamping. Peran penduduk desa sebagai pelaksana program.
Kerja sama
solid akan tercipta jika semua elemen terkait memiliki visi dan misi yang sama.
Mempunyai satu komitmen memajukan sektor pertanian desa.
Jika semua
elemen sudah "Seiya dan sekata" arah dan tujuan program mudah
tercapai. Mimpi utopis desa sebagai basis produksi pangan nasional akan
terwujud. Permasalahan kesejahteraan terjawab dan jawabannya ada di desa bukan
di kota. Wallohu 'alam.
18 Januari 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar