Laman

Senin, 23 Januari 2017

'Overdosis' urbanisasi

                                                         Khoirul's Blog - WordPress.com

Setiap tahun jumlah penduduk Indonesia semakin bertambah. Membeludaknya jumlah penduduk membawa dampak positif dan negatif. Dampak positif meliputi tersedianya potensi sumber daya manusia yang besar. Untuk mengelola sumber daya alam yang ada. Sementara dampak negatif berupa kekurangan fasilitas untuk menyokong kehidupan semua penduduk. 


Bukan hal rahasia, masih banyak wilayah di Indonesia kekurangam fasilitas kehidupan sebagai barometer kesejahteraan. Problem klasik ketersediaan fasilitas kehidupan memusat pada kota-kota besar. Dalam skala wilayah kelengkapan fasilitas memusat di Pulau Jawa sementara kekurangan di Pulau Papua dan pulau-pulau terluar.

Selama ini program penyelesaian pemerintah kepadatan penduduk dengan menggalakan program migrasi penduduk berupa migrasi nasional dan internasional. Dalam hal ini penulis lebih menyoroti pada migrasi nasional urbanisasi. Urbanisasi sendiri merupakan perpindahan penduduk dari desa ke kota. Macam-macam migrasi nasional meliputi urbanisasi, transmigrasi, bedol desa dll.

Pada pembahasan urbanisasi permasalahannya terletak pada kualitas dan kesehahteraan penduduk. Penilaian pada pra dan pasca urbanisasi. Bila kita amati kebanyakan faktor pendorong urbanisasi adalah harapan kehidupan yang lebih baik di kota tujuan.

Namun faktanya pelaku urbanisasi kerap kali gagal di kota. Faktor penyebabnya bermacam-macam. Tapi yang lebih rasional faktor ini tidak terlepas dari pemerintah dan kementrian terkait.  Banyak diantara pelaku urbanisasi justru menjadi gelandangan di kota. Seperti kabar dari media tentang menjamurnya pemukiman kumuh di Jakarta. Tingginya jumlah gelandangan dan pengemis.

Sementara dampak bagi desa yang ditinggalkan, desa kekurangan tenaga kreatif pasalnya pelaku urbanisasi mayoritas kalangan remaja hingga dewasa. Usia mereka 15-45 tahun. Mereka ke kota dengan tujuan pendidikan dan pekerjaan.

Bila diperlebar permasalahan di desa lebih komplek. Alurnya minimnya tenags kreatif di desa memperlambat kemajuan desa. Selama ini kita mengenal desa sebagai lumbung produksi. Dimana tersedia sumber bahan pokok seperti padi, tebu, gandum, dan produksi pertanian, perkebunan serta perikanan. Sementara kota sebagai daerah distribusi sekaligus konsumsi.

Lantas dari hilangnya tenaga kreatif desa, berdampak pada menurunnya produksi di desa. Contoh : Keluhan beberapa petani tradisional. Mereka kekurangan tenaga penggarap sawah, karena para pemuda memilih kerja di kota dengan asumsi mendapat gaji lebih besar. Padahal seperti yang kita tahu, gaji besar di kota berbanding lurus dengan besarnya biaya hidup di kota. Kalau dihitung-hitung keuntungan kerja di kota sedikit. Lebih parah lagi, para pelaku urbanisasi mayoritas berpendidikan rendah. Mendapat pekerjaan rendah dengan gaji sebatas Upah Minimum Regional. Penulis tidak menyama ratakan tetapi dari pengamatan penulis tingkat pencapaian pelaku urbanisasi di kota besar masih jauh dari sukses.

Lalu, jika ditarik kesimpulan sederhana program urbanisasi belum sepenuhnya menjadi alternatif krisis kesejahteraan penduduk. Mengenai hal ini penulis menawarkan solusi para pemuda baik yang sekolah maupun berpendidikan rendah tetap di desa. Mereka memberdayakan potensi di desa. Mengoptimalkan kuantitas dan kualitas produksi di desa. Aplikasi sederhana dengan kerjasama solid dan kesinambungan program pemberdayaan.

Kerjasama solid dengan menggandeng elemen terkait dari pusat ke daerah. Misal: program pengadaan pupuk organik bagi petani. Peran pemda atau dinas terkait sebagai fasilitator dan pengawasan. Peran akademisi/ yang diwakili perguruan tinggi sebagai pendamping. Peran penduduk desa sebagai pelaksana program.

Kerja sama solid akan tercipta jika semua elemen terkait memiliki visi dan misi yang sama. Mempunyai satu komitmen memajukan sektor pertanian desa.

Jika semua elemen sudah "Seiya dan sekata" arah dan tujuan program mudah tercapai. Mimpi utopis desa sebagai basis produksi pangan nasional akan terwujud. Permasalahan kesejahteraan terjawab dan jawabannya ada di desa bukan di kota. Wallohu 'alam.

18 Januari 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar