Harlah NU ke 91, sebuah perjalanan panjang. Saksi bendera bintang Sembilan ini berkibar membentang di langit nusantara. Bendera panjang ini dipegang teguh oleh para kyai, sepuh, dan warga Nahdliyin. Sepanjang bentangan bendera ini NU mengayomi dan menjaga warga Nahdliyin. NU telah berjasa besar menjadi rumah bagi warga Nahdliyin, terutama umat Islam Indonesia.
Sedikit
membaca kilas balik berdirinya NU pada tahun 1926, sejak awal berdirinya NU
telah mengemban amanah untuk mengayomi warga Nahdliyin. Meski mewadahi
organisasi masa berbasis Islam. NU tidak memisahkan diri dari kehidupan
kenegaraan. Setiap babak perjalanan Indonesia NU selalu menjadi panglima garda
terdepan yang membela Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kontribusi
NU terhadap bangsa Indoensia sangat besar. Hampir di setiap babak perjuangan
Indonesia NU terlibat. Tombak sejarah menulis dengan tinta emas slogan Hubbul Wathon Minal Iman ( cinta agama bagian dari iman) yang didengungkan oleh KH. Hasyim
‘Asyari telah menggelorakan dan menjiwai perjuangan warga Nahdliyin dan rakyat
Indonesia pada umumnya. Ketundukan umat Islam pada kyai, satu hati menempuh
perjuangan kemerdekaan tergadai darah dan nyawa. Demi cinta pada ulama, demi
cinta pada negara.
Selanjutya
keterlibatan NU dalam NKRI bukan semata wadah bagi ormas Islam, melainkan
sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia, NU turut mewarnai perjalanan bangsa
Indonesia. Pada setiap babak ‘menggigit’ dari rezim Orde Lama, Orde Baru, Reformasi
hingga pasca reformasi ini.
NU
yang menerjunkan diri pada aktivitas kemlasahatan umat turut berjibaku dengan ‘drama’
perpolitikan di Indonesia. NU mengalami masa getir ‘dijatuhkan, difitnah, dan
segala isu pelemahan lainnya. Namun NU tegar- bendera hijau masih berkibar, NU
terus mengayomi warga Nahdliyin juga menjaga NKRI. Para kyai, santri dan warga
Nahdliyin lainnya akan terus setia terhadap NKRI.
So,
jangan tanyakan lagi –jangan ragukan lagi, posisi NU dan kontribusi NU terhadap
NKRI. Dalam refleksi 91 tahun ini, saya merenungkan beberapa hal :
Pertama,
saya mempertanyakan kembali keharmonisan ulama (NU) dengan pemimpin bangsa dan
jajarannya? Masihkah mereka ‘manut’ pada kyainya. Atau para kyai hanya sebagai
alat politik meraih kekuasaan pemimpin?
Kedua,
pada masa silam kita menyaksikan dalam teks-teks sejarah betapa heroiknya para
ulama, kyai, santri menjaga NKRI. Dahulu mereka mengangkat senjata melawan
penjajah. Lalu saat ini, ‘senjata’ seperti apakah yang kita gunakan untuk
menjaga NKRI dan menjaga warga Nahdliyin pada umumnya?
Sekali
lagi pertanyaan di atas, hanya sebagai renungan kita bersama selaku pemilik dan
pewaris Nahdlatul Ulama. Wallohu ‘alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar