Sekilas dilihat dari judulnya terkesan provokatif. Tapi janganlah terpaku pada judul sebelum memahami isi tulisaannya. Sebelum mengawali tulisan ini sebagai pengantar, saya nukilkan tentang obrolan antar wali murid.
A :
Jeng, nanti anak jenengan mau dikuliahkan dimana ?
B :
saya sih pengennya disekolahin di STAN ( Sekolah Tinggi Akuntansi Negara),
dengar-dengar kata ibu-ibu arisan komplek yang anaknya jebolan STAN, kini sudah
kerja di pelabuhan. Kerjanya mudah terus gajinya gede. Kan enak, sekolah
langsung ikatan dinas- sehabis lulus nggak perlu susah-susah nyari pekerjaan. Terus
langsung kesempatan jadi PNS (pegawai Negeri Sipil) juga terbuka lebar.
A :
Wah, hebat banget. Kalau anak jenengan bisa masuk STAN. Semoga nanti bisa lolos
seleksi ke STAN.
B : Aamiin.
Lha, anak jenengan mau disekolahin dimana ?
A :
Saya terserah anak saja, mau melanjutkan studinya kemana. Insya allah saya
mendukung. Tidak mau mengekang. Yang terpenting dia saya bekali ilmu agama. Sebagai
pondasi rentannya pergaulan masa remaja terutama kuliah.
B :
Tapi anak ibu belum punya gambaran apapun, tentang masa depannya ? Lho, bu.. saya
saranin jangan terlalu santai dengan anak. Sekarang sistem kerja sangat kejam.
Kalau tidak aktif bisa tertinggal zaman. Tidak dapat pekerjaan yang layak. Masa
depan anak suram. Yang ujung-ujungnya saat dewasa masih minta-minta sama orang
tua.
A :
(ekspresi tersenyum), Walah saya sih tidak serumit itu bu, saya juga sudah
menyiapkan konsep masa depan untuk anak saya. Anak saya sih inginnya kuliah
fotografi. Sejak masih sekolah dia
sering menjadi seksi dokumentasi pada acara OSIS. Dia kecanduan lalu buat
komunitas fotografis bareng teman-temannya gitu. Setiap hari Ahad atau hari
libur sekolah, dia ijin ke saya untuk pergi jalan-jalan bareng komunitasnya. Dia
pergi mencari objek-objek terbaik buat jepretan fotonya.
B :
Waduh, ibu itu sih biarin anak kelayaban tidak jelas. nggak baik itu bu,
baiknya anak sekolahan itu belajar di rumah itu anak jempolan..
A :
Hehe, Lho ibu ini gimana, orang anak saya juga saat ini lagi ijin keluar ke
kota bareng anak jenengan to, bu,
B :
(pingsann)…
Kebanyakan
mindset (pola pikir) orang tua kita memandang profesi PNS, kerja kantoran
adalah profesi surga. Profesi yang memiliki banyak fasilitas plus
bonus-bonus..- profesi kemapanan menjadi dambaan setiap pencari kerja. Hal yang
wajar- mengingat kondisi saat ini sangat susah mencari pekerja.
Pertama,
mindset penyedia kerja lebih sedikit daripada tersedianya lapangan kerja. Kasus
pertama untuk pegangguran terdidik. Dimana lulusan terbaik universitas tidak
tertampung pada pekerjaan yang layak (baca: sesuai jurusan ).
Kedua,
mindset Kurangnya kreativitas para pencari kerja. Pola pikir ‘lurus’ hasil
dikte sekolahan formal yang mengedepankan IQ semata-‘ kompetisi nilai’- menjadikan
daya kreativitas para pencari kerja tumpul. Kurangnya daya ‘imajinasi liar’ ini
menjuruskan langkah pencari kerja hanya sebagai follower/ pengekor saja. Jatuhnya
mereka akan mencari kerja dengan asas prestise/ gaji/. Pekerjaan cenderung
menempatkan status pekerjaan daripada peran dari pekerjaan tersebut.
Fenomena
mindet seperti ini ke depan mengakar di kalangan masyarakat Indonesia. Terdata ribuan
pengangguran terdidik, dan masih banyak lagi pengangguran yang tidak terdidik,
belum lagi –para pengangguran yang tidak terdidik- atau tidak sekolah lebih
banyak bekerja di sektor sampingan. Missal menjadi buruh di negeri sendiri. Fakta
: para waraga yang bekerja menjadi tukang bangunan pada pemangunan mall ( hasil
investasi asing di negeri sendiri).
Lalu
bagaimana solusinya?
(mari
kita renungkan bersama), pendidikan adalah pondasi dasar. Melalui pendidikan
manusia menjadi beradab. Namun pendidikan meliputi tiga hal aspek kognitif, afektif
dan konatif. Aspek itu harusnya tertanam dalam sistem pendidikan anak didik. Prosentase
ketiga poin tersebut berimbang. Tidak berat sebelah. Misal pada aspek kognitif
–yang mengejar kecerdasan intelektual.
Nah hemat
saya simulasi ketiga aspek itu terletak salah satunya pada soft skill. Soft skill
cara untuk meningkatkan kecerdasan sosial. Seperti contoh soft skiil fotografi,
meski terlihat hanya aktivitas kelayaban- jalan-jalan semata namun didalamnya
ada pelajaran untuk mengembangkan kecerdasan EQ ( Emotional Intellgence Quotient). EQ, mendampingi IQ-
paket lengkap IQ+EQ+SQ (spiritual quotient) = paket lengkap rumus /bekal anak
didik.
Pentingnya
Soft skill mengasah anak didik untuk besosial, komunikasi bahasa, karakter, membangun
optimisme dalam pergaulan.
Bila
ditekuni terus menerus- hobi fotografi bisa mengantarkan pada professional kerja
seperti usaha pre-wedding, fotografer, fotografer junalistik dan masih banyak
lagi pekerjaan yang memerlukan jasa fotografi. Sekadar info satu gambar atau
foto yang dipajang di majalah NGO (National Geographic)- wuihhh- dibandrol…jutaan. Skill fotogrfi hanya contoh masih banyak,, skill lain yang bisa ditekuni..
Bukankah
kata Walikota Badung Pak Ridwal Kamil -pekerjaan paling menyenangkan adalah
hobi yang dibayar. Nah, masih ragu untuk mencari jurusan kuliah, masih ingin
jadi PNS- apapun pilihan orang tua- sebaiknya mempertimbangkan kehendak
anaknya. Soalnya mereka yang akan mengamalkan ilmu mereka. Wallohu ‘alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar