Judul
yang menggelitik bukan? Ketika asyik berselancar di dunia maya tanpa sengaja
aku menemukan sebuah artikel terkait manajemen diri. Lalu sisi ke-aku-an itu
mendapat imbuhan ‘menikah’. Apakah makna akan berbeda ?
Tentu
tidak. Menikah dengan Diri Sendiri masih bagian lingkup manajemen diri. Tidak
percaya? Ayo simak penjelasanku.
Saya
berikan satu ilustrasi tentang sosok A dan B. A adalah laki-laki dan B adalah
perempuan. Sesaat kita abaikan unsur perbedaan jenis kelamin antara dua objek
contoh tersebut. Fokuslah pada A dan B secara personal. Pergaulan Si A dan Si B
secara luas.
Jika
kamu adalah A. Siapkah kamu menjadi menikah dengan Si A, yakni dirimu sendiri.
Kamu akan ditantang untuk memahami karakter, sikap, dan perilaku Si A.
Contoh
kasus :
Kamu
adalah Si A yang mempunyai sifat pemarah. Si A biasa marah kalau pendapatnya
tidak diterima dikalangan teman-temannya. Saat itu kamu posisikan menjadi Si A,
kamu menikmati peranmu –ketika marah-marah kepada temanmu. Hasil lampiasan
emosi karena kamu merasa posisimu tidak dianggap oleh teman-temanmu.
Lalu
Si B. sosok Si B masuk ke dalam scenario cerita. Si B adalah salah satu teman
Si A, yang mendapat lampiasan amarah dari Si A.
Lalu- dengan empati yang tinggi- kamu (Si A)
berubah menjadi Si B. Kamu merasa bagaimana mendapat amarah dari Si A (dirimu
sendiri).
Poin
saat kamu-berempati pada Si B saat itulah kamu sedang melakukan change point
of view. Mengubah suddut pandang. Bukan semata kamu (Si A) berada di posisi
pelampias amarah lntara pendapat yang tidak diterima teman. Namun Si A-yang
mampu melihat masalah dari sudut pandang Si B.
Kamu
(Si A) bisa merasakan perasaan sedih, tertekan, bersalah, bahkan penolakan dari
Si B.
Jika
kamu sudah memahami Si B. Kamu tidak mudah meng-aku-an Si A. kamu akan lebih
bijak, berpikir dua kali untuk melakukan hal-hal tertentu. Semisal pun berada
di kasus pertama, kamu akan berpikir ulang/ otakmu akan berimajinasi dampak
yang terjadi setelah lampiasan marah-marah itu terjadi.
Jadi,
jika sudah pada poin ini. Kamu akan mengerti maksud dari judul “ Menikah dengan
Diri Sendiri”. Yakni ketika kamu menikah dengan sikap, karakter, dan perilaku
dari dirimu sendiri.
Jika
kamu (dirimu sendiri) saja belum mampu menerima
menikahi diri sendiri. Lalu bagaimana dengan orang lain ( yakni Si B, Si
C, Si D dan lain-lain).
Selanjutnya
kata ‘menikah’ bisa diganti dengan ‘berteman dengan diri sendiri’, sanggupkah
kamu mencintai dirimu sendiri’ dan lain-lain.
Wallohu
alam.
Referensi
:
Disarikan
dari salah satu artikel buku “ Satu Tiket Ke Surga” dengan berbagai
penyuntingan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar