Pernahkah kawan dengar istilah Monster Apatis? Kemungkinan besar
belum. Sekalipun dicari di Kamus Besar Bahasa Indonesia pun, belum tentu ada.
Monster Apatis sebenarnya keceplosan ucap. Tanpa kesengajaan ketika
saya-mengamati life style masyarakat.
Sebagai orang Jawa sudah barang tentu, budaya njawani harus
dilestarikan. Tapi karena desakan modernisasi, perlahan-lahan budaya lokal
'njawani' mulai tergeser.
Misal saja setiap kali ada hajatan pernikahan atau sunatan Si Empu
pemilik rumah mengundang para tetangga. Tetangga kampung, keluarga dan kerabat
berbondong-bondong membantu di rumah tuan rumah.
Lain halnya dengan saat ini. Bila ada hajatan pemilik rumah tinggal
memesan katering plus paket panggungnya. Pekerjan bermuatan kegotong-royongan
telah hilang.
Ini semua karena dinamika masyarakat. Perubahan budaya masyarakat
tidak terlepas dari perkembangan teknologi dan modernisasi.
Dampaknya modernisasi telah menciptakan jenis mahluk baru.
Makhluk baru. Manusia berwatak praktis dan pragmatis. Manusia jenis
ini lebih sering menceburkan diri pada hal-hal pragmatis. Seperti gila kerja.
Sementara sisi humanis/ kemanusiaannya keropos. Bila tidak diobati manusia
jenis pragmatis berubah menjadi manusia robot.
Mereka kering dari aktivitas
sosial. Kepekaan sosial mereka berkurang. Lalu kepedulian berkurang. Hingga
menjadi mahluk egois dan apatis.
Jika sudah egois dan apatis ini sudah akut. Meski fisik berwibawa-
dia cenderung tidak mempunyai nilai simpati apalagi empati. Kecerdasan
intelektual oke, tapi kalo kecerdasan sosial nol- lhaa buat apa??
Orang yang hebat adalah orang yang paling bermanfaat bagi orang
lain. Dan orang ramah/ berani bersosialisasi baik itu memiliki banyak kawan.
Guyobannya : Bukankah tukang sayur lebih disukai ibu-ibu komplek
daripada tukang sol sepatu???#@#@
@-@ jelasss soalnya tukang sayur itu selalu ramah daripada tukang
sol sepatu. ^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar