Laman

Sabtu, 11 Februari 2017

Monster Apatis




Pernahkah kawan dengar istilah Monster Apatis? Kemungkinan besar belum. Sekalipun dicari di Kamus Besar Bahasa Indonesia pun, belum tentu ada. Monster Apatis sebenarnya keceplosan ucap. Tanpa kesengajaan ketika saya-mengamati life style masyarakat.

Sebagai orang Jawa sudah barang tentu, budaya njawani harus dilestarikan. Tapi karena desakan modernisasi, perlahan-lahan budaya lokal 'njawani' mulai tergeser.

Misal saja setiap kali ada hajatan pernikahan atau sunatan Si Empu pemilik rumah mengundang para tetangga. Tetangga kampung, keluarga dan kerabat berbondong-bondong membantu di rumah tuan rumah.
Lain halnya dengan saat ini. Bila ada hajatan pemilik rumah tinggal memesan katering plus paket panggungnya. Pekerjan bermuatan kegotong-royongan telah hilang. 


Ini semua karena dinamika masyarakat. Perubahan budaya masyarakat tidak terlepas dari perkembangan teknologi dan modernisasi.

Dampaknya modernisasi telah menciptakan jenis mahluk baru. 

Makhluk baru. Manusia berwatak praktis dan pragmatis. Manusia jenis ini lebih sering menceburkan diri pada hal-hal pragmatis. Seperti gila kerja. Sementara sisi humanis/ kemanusiaannya keropos. Bila tidak diobati manusia jenis pragmatis berubah menjadi manusia robot.

Mereka kering dari aktivitas sosial. Kepekaan sosial mereka berkurang. Lalu kepedulian berkurang. Hingga menjadi mahluk egois dan apatis.

Jika sudah egois dan apatis ini sudah akut. Meski fisik berwibawa- dia cenderung tidak mempunyai nilai simpati apalagi empati. Kecerdasan intelektual oke, tapi kalo kecerdasan sosial nol- lhaa buat apa??
Orang yang hebat adalah orang yang paling bermanfaat bagi orang lain. Dan orang ramah/ berani bersosialisasi baik itu memiliki banyak kawan.

Guyobannya : Bukankah tukang sayur lebih disukai ibu-ibu komplek daripada tukang sol sepatu???#@#@
@-@ jelasss soalnya tukang sayur itu selalu ramah daripada tukang sol sepatu. ^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar