Laman

Jumat, 10 Februari 2017

Pengamen di Bis


foto : akulebay.com

Kata-kata Kak Desy tergiang-ngiang di telingaku, " Hidup kok kerja terus, pikiranmu jenuh butuh nutrisi sempatin jalan-jalan lah,". Pikiranku membenarkan perkataan Kak Desy, tapi separuh hatiku ragu mengingat deadline artikel minggu ini.

Akhirnya logika kerjaku luntur melihat foto Kak Desy duduk manis berselonjor menatap ombak di pantai Pacitan. Aku membulatkan tekad piknik akhir pekan. Tentu dengan mengambil konsekuensi dimarahin atasan. Tak apalah, kejenuhan kerjaku stadium akut. Meja kantor dan seonggok komputer tua di meja kerjaku tak menarik lagi.

Setelah penulisan artikel sore ini. Aku menahan tubuhku lebih lama di kantor. Beberapa staf yang lain satu per satu melambaikan tangan pulang.


" Win, tumben kamu masih di sini ada, ada wawancara malam ?" tanya Kak Syam.
" Nggak juga kak, lagi browshing data internet buat artikel besok,"
"Haha, sejak kapan kamu rajin, biasanya narasumber aja yang nunggu kamu," Ledek Kak Syam.
"Wah, itu sih narsum yang ganti jadwal mendadak kak,"
" Halah pintar ngeles kamu, Win haha. Ya sudah hati-hati di kantor,".

Suara Kak Syam perlahan hilang. Asap sepeda motornya mengepul di udara.
Aku bernafas lega. Berbicara dengannya akan membuang waktuku percuma. Aku hanya punya waktu 15 menit untuk mencari situs piknik terbaik. Pas biaya, pas waktu, dan pas tempatnya.
xxx
Wisata sejarah menarik bukan? Aku kira menziarahi bangunan tua sangat bermanfaat. Aku bisa mengetahui kisah dan belajar dari masa lalu. Bukankah masa lalu pelajaran yang terbaik.

"Klik"!

Jari telunjukku mengklik situs sejarah Lawang Sewu, Semarang. Bangunan tua peninggalan Belanda ini memiliki rating wisatawan yang tinggi. Selain itu tempatnya mudah dijangkau dengan transportasi. Tempat sudah fix, satu yang kurang, teman. Aku langsung mengontak nomor kawan-kawanku. Satu per satu mereka menolak tawaran pikniku.

Beberapa kawan lebih menyukai wisata shooping dibandingkan wisata sejarah. Hah, wajar juga bagi orang umum apa menariknya bangunan tua dan sejarah masa lalu. Tapi aku tidak putus asa. Sudah susah payah mencuri waktu piknik. Tiba-tiba aku teringat Kak Lutfi. Sekejap aku ragu, dia seorang Korean addict, apa sejarah laku dipikirannya.

Sudah terlanjur basah, aku rangkai kata-kata paling provokatif, dengan keyakinan menggebu aku klik tombol send. Aku biarkan pesan itu melayang di udara. Tiga menit ada jawaban.
" Kamu tahu jalannya gak, pokoknya aku gak mau tahu. Kalau kita nyasar di jalan,"
Aku bernafas lega 80% berhasil tinggal finishing. " Tahu kok kak, transportasinya mudah, lokasi di jalan utama,"
xxx
Minggu pagi yang cerah. Aku dan Kak Lutfi sudah stand by di terminal Jombor. Mata kami mencari-cari bis jurusan Magelang. Untuk ke Semarang harus lebih dahulu transit di Magelang baru lanjut bis ke Semarang. Setelah berjalan kami menemukan sebuah bis di pojok. Bis besar antarkota bercat biru kusam itu seperti paus terdampar di lautan. Lesu dan loyo. Kaca jendela yang kotor dan bangku tua menyalami kami berdua. Dan sesuai dugaanku. Kak Lutfi tertinggal dia memilih memandang layar Hp-nya yang ku tahu tidak ada pesan di sana. Kaki kanan yang hendak menaiki bis, aku tarik kembali.
Aku biarkan Kak Lutfi sendiri. Aku tak bisa memaksakan, aku yang seorang anak desa sudah hal biasa bertemu situasi seperti ini.

Aku mencari informasi apa ada bis bagus jurusan Magelang. Bis bagus tiketnya dua kali lipat. Dia terdiam dengan informasiku. Lalu berdiri.
" Iya sudah, kita naik bis ini saja,".
"Syukurlah", aku membatin.
Sekitar satu jam Bis antik ini menunggu penumpang. Bangku-bangku tua itu terisi semua. Beberapa penumpang berdiri. Kami termasuk beruntung mendapatkan bangku kosong di bagian tengah.

Bis mulai berjalan. Bis melaju dengan kecepatan sedang. Aku sedari tadi fokus melihat ke depan. Aku tak berniat mengobrol dengan Kak Lutfi, dia telah memutus celah komunikasi. Dia menutup hidungnya dengan sapu tangan pink bermotif kupu-kupunya.

Sewaktu bis berhenti di pasar. Beberapa penumpang baru masuk. Perut bis semakin kembung. Kepengapan udara keluar perlahan melalui jendela. Aku mencoba menghilangkan bosan dengan menulis note di Hp. Bis berhenti beberapa kali.

" Bebasan koyo ngenteni udaning mongso ketigo..."
Secapat kilat mataku mencari sumber suara. Dua remaja tanggung mengamen.

Ngenjrengan gitar itu berhasil mengusir penatku. Tanpa sadar aku menghentakan sepatu kananku mengikuti irama lagu. Bagai koor, hatiku ikut menyanyi kebetulan aku hafal beberapa karya Didi Kempot seperti lagu Tanjung Mas ini. Kebetulan tujuan kami ke Semarang, lokasi pelabuhan Tanjung Mas.

" Aku esih kelingan naliko ing pelabuhan kowe janji lungo ra ono sewulan..."

Satu pemuda berjalan menyodorkan kaleng kecil. " Aduh, aku gak menyelipkan uang pecahan di saku ku. Seolah jadi isyarat Kak Lutfi memasukan lipatan uang kertas ke kaleng kecil itu.
selanjutnya...
Tak lama berselang. Bis berhenti menurunkan dua pengamen itu lalu naik kakek tua. Aku sudah bersiap-siap berdiri memberikan bangku kepada Si Kakek Tua.
Tapi Si Kakek Tua malah berpidato dengan bahasa krama alus. Aku yang mendapat remidial Bahasa Jawa sewaktu SMA hanya berhasil menangkap 40% isi pidato Si Kakek Tua. Secara garis besar Si Kakek Tua mendoakan keselamatan penumpang. Tak sampai di situ, dia menutup pidatonya dengan doa lengkap dengan shalawat. Dia bersholawat sendirian di bis antik ini. Suara seraknya beradu dengan mesin bis. Nafasnya tersenggal-senggal, batuk menyertai sholawatnya. Dia tidak peduli, dia berjalan menyusuri lorong sempit bis. Dengan berdesak-desakan dia menyodorkan kaleng kecil ke setiap penumpang.

Tepat di hadapan bangku kami. Aku terdim. Seperti biasa lipatan uang Kak Lutfi masuk ke kaleng kecil itu. Seketika lembaran Soekarno-Hatta di saku bajuku memanas. Aku bergumam, "Lihatlah Bung, negeri kalian belum merdeka,".

19 November 2016





Tidak ada komentar:

Posting Komentar