foto : akulebay.com |
Kata-kata Kak Desy tergiang-ngiang di telingaku, " Hidup
kok kerja terus, pikiranmu jenuh butuh nutrisi sempatin jalan-jalan lah,".
Pikiranku membenarkan perkataan Kak Desy, tapi separuh hatiku ragu mengingat
deadline artikel minggu ini.
Akhirnya logika kerjaku luntur melihat foto Kak Desy duduk
manis berselonjor menatap ombak di pantai Pacitan. Aku membulatkan tekad piknik
akhir pekan. Tentu dengan mengambil konsekuensi dimarahin atasan. Tak apalah,
kejenuhan kerjaku stadium akut. Meja kantor dan seonggok komputer tua di meja
kerjaku tak menarik lagi.
Setelah penulisan artikel sore ini. Aku menahan tubuhku lebih
lama di kantor. Beberapa staf yang lain satu per satu melambaikan tangan
pulang.
" Win, tumben kamu masih di sini ada, ada wawancara
malam ?" tanya Kak Syam.
" Nggak juga kak, lagi browshing data internet buat
artikel besok,"
"Haha, sejak kapan kamu rajin, biasanya narasumber aja
yang nunggu kamu," Ledek Kak Syam.
"Wah, itu sih narsum yang ganti jadwal mendadak
kak,"
" Halah pintar ngeles kamu, Win haha. Ya sudah hati-hati
di kantor,".
Suara Kak Syam perlahan hilang. Asap sepeda motornya mengepul
di udara.
Aku bernafas lega. Berbicara dengannya akan membuang waktuku
percuma. Aku hanya punya waktu 15 menit untuk mencari situs piknik terbaik. Pas
biaya, pas waktu, dan pas tempatnya.
xxx
Wisata sejarah menarik bukan? Aku kira menziarahi bangunan
tua sangat bermanfaat. Aku bisa mengetahui kisah dan belajar dari masa lalu.
Bukankah masa lalu pelajaran yang terbaik.
"Klik"!
Jari telunjukku mengklik situs sejarah Lawang Sewu, Semarang.
Bangunan tua peninggalan Belanda ini memiliki rating wisatawan yang tinggi.
Selain itu tempatnya mudah dijangkau dengan transportasi. Tempat sudah fix,
satu yang kurang, teman. Aku langsung mengontak nomor kawan-kawanku. Satu per
satu mereka menolak tawaran pikniku.
Beberapa kawan lebih menyukai wisata shooping dibandingkan
wisata sejarah. Hah, wajar juga bagi orang umum apa menariknya bangunan tua dan
sejarah masa lalu. Tapi aku tidak putus asa. Sudah susah payah mencuri waktu
piknik. Tiba-tiba aku teringat Kak Lutfi. Sekejap aku ragu, dia seorang Korean
addict, apa sejarah laku dipikirannya.
Sudah terlanjur basah, aku rangkai kata-kata paling
provokatif, dengan keyakinan menggebu aku klik tombol send. Aku biarkan pesan
itu melayang di udara. Tiga menit ada jawaban.
" Kamu tahu jalannya gak, pokoknya aku gak mau tahu.
Kalau kita nyasar di jalan,"
Aku bernafas lega 80% berhasil tinggal finishing. " Tahu
kok kak, transportasinya mudah, lokasi di jalan utama,"
xxx
Minggu pagi yang cerah. Aku dan Kak Lutfi sudah stand by di
terminal Jombor. Mata kami mencari-cari bis jurusan Magelang. Untuk ke Semarang
harus lebih dahulu transit di Magelang baru lanjut bis ke Semarang. Setelah
berjalan kami menemukan sebuah bis di pojok. Bis besar antarkota bercat biru
kusam itu seperti paus terdampar di lautan. Lesu dan loyo. Kaca jendela yang
kotor dan bangku tua menyalami kami berdua. Dan sesuai dugaanku. Kak Lutfi
tertinggal dia memilih memandang layar Hp-nya yang ku tahu tidak ada pesan di
sana. Kaki kanan yang hendak menaiki bis, aku tarik kembali.
Aku biarkan Kak Lutfi sendiri. Aku tak bisa memaksakan, aku
yang seorang anak desa sudah hal biasa bertemu situasi seperti ini.
Aku mencari informasi apa ada bis bagus jurusan Magelang. Bis
bagus tiketnya dua kali lipat. Dia terdiam dengan informasiku. Lalu berdiri.
" Iya sudah, kita naik bis ini saja,".
"Syukurlah", aku membatin.
Sekitar satu jam Bis antik ini menunggu penumpang.
Bangku-bangku tua itu terisi semua. Beberapa penumpang berdiri. Kami termasuk
beruntung mendapatkan bangku kosong di bagian tengah.
Bis mulai berjalan. Bis melaju dengan kecepatan sedang. Aku
sedari tadi fokus melihat ke depan. Aku tak berniat mengobrol dengan Kak Lutfi,
dia telah memutus celah komunikasi. Dia menutup hidungnya dengan sapu tangan
pink bermotif kupu-kupunya.
Sewaktu bis berhenti di pasar. Beberapa penumpang baru masuk.
Perut bis semakin kembung. Kepengapan udara keluar perlahan melalui jendela.
Aku mencoba menghilangkan bosan dengan menulis note di Hp. Bis berhenti
beberapa kali.
" Bebasan koyo ngenteni udaning mongso ketigo..."
Secapat kilat mataku mencari sumber suara. Dua remaja
tanggung mengamen.
Ngenjrengan gitar itu berhasil mengusir penatku. Tanpa sadar
aku menghentakan sepatu kananku mengikuti irama lagu. Bagai koor, hatiku ikut
menyanyi kebetulan aku hafal beberapa karya Didi Kempot seperti lagu Tanjung
Mas ini. Kebetulan tujuan kami ke Semarang, lokasi pelabuhan Tanjung Mas.
" Aku esih kelingan naliko ing pelabuhan kowe janji
lungo ra ono sewulan..."
Satu pemuda berjalan menyodorkan kaleng kecil. " Aduh,
aku gak menyelipkan uang pecahan di saku ku. Seolah jadi isyarat Kak Lutfi
memasukan lipatan uang kertas ke kaleng kecil itu.
selanjutnya...
Tak lama berselang. Bis berhenti menurunkan dua pengamen itu
lalu naik kakek tua. Aku sudah bersiap-siap berdiri memberikan bangku kepada Si
Kakek Tua.
Tapi Si Kakek Tua malah berpidato dengan bahasa krama alus.
Aku yang mendapat remidial Bahasa Jawa sewaktu SMA hanya berhasil menangkap 40%
isi pidato Si Kakek Tua. Secara garis besar Si Kakek Tua mendoakan keselamatan
penumpang. Tak sampai di situ, dia menutup pidatonya dengan doa lengkap dengan
shalawat. Dia bersholawat sendirian di bis antik ini. Suara seraknya beradu
dengan mesin bis. Nafasnya tersenggal-senggal, batuk menyertai sholawatnya. Dia
tidak peduli, dia berjalan menyusuri lorong sempit bis. Dengan berdesak-desakan
dia menyodorkan kaleng kecil ke setiap penumpang.
Tepat di hadapan bangku kami. Aku terdim. Seperti biasa lipatan
uang Kak Lutfi masuk ke kaleng kecil itu. Seketika lembaran Soekarno-Hatta di
saku bajuku memanas. Aku bergumam, "Lihatlah Bung, negeri kalian belum
merdeka,".
19 November 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar